Mereduksi Penunjukan Langsung

Selama ini sebenarnya masih banyak perdebatan di seputar penunjukan langsung. Tetapi sejauh ini belum ada penjelasan yang tuntas dan memuaskan, sehingga cenderung membingungkan masyarakat, terutama pengelola anggaran. Banyaknya “korban” akibat penunjukan langsung, setidaknya membuktikan bahwa masih terdapat “daerah abu-abu” dalam melihat dan menafsirkan alasan penunjukan langsung.
Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit divonis empat tahun penjara dan membayar denda. Ia dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga disalahkan melanggar Pasal 13 ayat (3) Keppres Nomor 18 Tahun 2000, karena menunjuk langsung rekanan pengadaan mobil pemadam kebakaran. Dalam pembelaannya, Saleh menyatakan apa yang dilakukannnya telah benar, sebab ada kebakaran hutan di Riau. Anggaran juga sudah dicantumkan dalam APBD dan ada radiogram Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan Keppres 18/2000, penunjukan langsung bisa dilakukan dalam keadaan darurat dan luar biasa. Namun, majelis hakim berpendapat, kebakaran hutan di Riau tidak pernah dinyatakan sebagai bencana Nasional, jadi tidak memenuhi kriteria keadaan mendesak yang memperbolehkan dilakukan penunjukan langsung (Kompas, 29/8/08).
Menyangkut penunjukan langsung, pasal 17 ayat (5) Keppres 80/2003 secara ekspisit menyatakan “dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan”. Dalam Perpres 95/2007 yang merupakan perubahan ketujuh terhadap Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penjelasan pasal 17 ayat (5) ini menguraikan lebih detail pengertian keadaan tertentu dan keadaan khusus tersebut. Sayang perubahan tersebut dalam praktiknya, tidak serta merta dapat mengakhiri kerancuan dalam penggunaan metoda penunjukan langsung.

Dua Tipikal Masalah
Terdapat dua tipikal masalah penunjukan langsung yang timbul dalam praktik, maupun yang sempat muncul ke permukaan, meskipun pada akhirnya hanya sebatas wacana. Pertama, penunjukan langsung atas alasan kepentingan mendesak. Alasan ini dipakai Departemen Pertahanan dalam pembelian 32 unit panser (jenis Vehicule de l’Avant Blinde – VAB) produksi Perancis. Sebagian anggota DPR dengan Dephan berbeda penafsiran. Anggota dewan melihat kendatipun mendesak, itu tidak cukup dijadikan dasar penunjukan langsung. Dephan tetap melanjutkan proses penunjukan langsung, dan menganggap pelaksanaan tender justru tidak akan efisien, apalagi dilakukan antarnegara (Kompas, 21/9/06).
Lalu, apakah alasan efisiensi dapat dijadikan justifikasi untuk mengadakan penunjukan langsung? Dalam beberapa kasus, termasuk yang sudah diputus pengadilan seperti kasus alat sistem pemindai sidik jari otomatis di Departemen Hukum dan HAM dan kasus mantan gubernur Saleh Djasit, terlihat adanya penafsiran yang berbeda dalam melihat batasan “kepentingan mendesak” atau “keadaan darurat dan luar biasa” (istilah Keppres 18/2000), walaupun dalam kedua kasus tersebut terlihat jelas lebih difokuskan pada kerugian negara yang diakibatkan oleh proses penunjukan langsung.
Kedua, penunjukan langsung yang dilakukan karena waktu yang terbatas untuk melakukan pelelangan umum. Dalam perubahan keempat Keppres 80/2003, yaitu Perpres 8/2006, pelaksanaan lelang sudah dapat dipersingkat dari 45 hari kerja menjadi 30 hari kerja saja (waktu minimal). Di sana tahapan yang eksplisit diatur hanya menyangkut pengumuman selama tujuh hari kerja; pendaftaran dan pengambilan dokumen satu hari kerja setelah pengumuman dan ditutup satu hari kerja sebelum batas akhir pemasukan dokumen; penjelasan empat hari kerja setelah pengumuman; pemasukan dokumen dua hari kerja setelah penjelasan; dan evaluasi penawaran satu hari kerja.
Namun, dalam pelaksanaannya tidak mudah untuk memenuhi waktu minimal ini, terlebih apabila ada sanggahan dari peserta lelang, meskipun kadangkala sanggahan tersebut semata-mata merupakan pelampiasan peserta tender yang kalah. Secara normatif, suatu sanggahan tidak mempengaruhi waktu proses pelelangan, tetapi pengelola anggaran biasanya akan memfokuskan diri dulu untuk menjawab sanggahan, walaupun tetap berupaya untuk memenuhi jadwal (waktu maksimal, bukan waktu minimal) proses pelelangan secara keseluruhan.

Cara Kerja DPR/DPRD
Selama ini kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memiliki hak menentukan anggaran (budget) termasuk pihak yang kritis menyoroti setiap kali satu instansi pemerintah melaksanakan pengadaan barang/jasa melalui metoda penunjukan langsung. Sayangnya tidak dibarengi oleh tindakan untuk mengelakkan penerapan metoda ini. Setiap tahunnya penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – Perubahan (APBN-P) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah- Perubahan (APBD-P) baru disepakati DPR/DPRD beberapa bulan menjelang berakhirnya tahun anggaran.
Kalangan DPR/DPRD sendiri mungkin merasa sudah melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya pada saat menyepakati APBN-P/APBD-P, tanpa harus ikut bertanggung jawab terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena telah dianggap menjadi urusan instansi pemerintah sebagai pengelola anggaran. Padahal disadari atau tidak, terbatasnya waktu yang tersedia inilah yang kadang kala “memaksa” pengelola anggaran untuk memilih metoda penunjukan langsung atau kemudian harus merelakan anggaran yang telah diperoleh kembali ke kas negara.
Pengelola anggaran acapkali seolah mendapat justifikasi untuk memilih penunjukan langsung, karena waktu yang sangat terbatas. Karena sangat sayang untuk merelakan anggaran kembali ke kas negara, padahal tidak mudah untuk memperolehnya. Dalam kondisi seperti ini, panitia pengadaan pun cenderung ikut “nekat” untuk memproses penunjukan langsung, karena merasa terlindung oleh instruksi/disposisi yang diberikan oleh atasannya. Secara normatif, panitia pengadaan memang dituntut untuk bekerja independen, tetapi dalam kenyataannya (sekali lagi), tidak mudah bagi panitia pengadaan untuk menolak in-struksi /disposisi seperti ini, walaupun bayang-bayang pengadilan di depan mata.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan serupa yang biasanya berujung pada pemborosan, bahkan mungkin korupsi dalam penunjukan langsung, sudah seyogianya DPR dan eksekutif mempercepat proses penetapan APBN-P/APBD-P setiap tahunnya. Bahkan, mekanismenya perlu ditinjau kembali. Sudah saatnya pengajuan dan penetapan anggaran dilakukan lebih tertib dan terencana, sehingga mempersempit ruang untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Tinggalkan komentar